
"Alasan!" Joana membentak kasar, memukul kuat kepala Reana.
"Bibi...." Reana mengerang, mundur menjauh dari Joana, mengusap kepalanya yang terasa sakit.
"Itu untukmu!" Joana melempar selembar uang berwarna biru ke arah Reana. Uang itu melayang jatuh ke lantai, tepat di depan Reana. "Kau harusnya bersyukur karena aku tidak mengambil semua gajimu!"
Reana menghela nafas panjang, merunduk dan meraih uang di lantai, meremasnya, menahan sesak di dadanya.
"Kau masih beruntung masih diperbolehkan tinggal di sini! Bekerjalah lebih keras! Kita butuh uang banyak untuk membayar hutang!"
Chapter 1
"Rea, istirahatlah sebentar. Setidaknya kau harus makan." Maya menepuk pundak Reana, dagunya diarahkan ke jam di dinding rumah makan tempat mereka bekerja, "Sudah lewat jam makan siang, biarkan aku dan Inka yang menghandle pekerjaan untuk sementara."
"Tapi saat ini, rumah makan sedang ramai ramainya." Reana tampak ragu, matanya melirik ke arah kursi dan meja yang nyaris terisi penuh. Rumah makan tempat Reana bekerja memang cukup ramai di saat jam makan siang dan jam malam. Selain karena lokasinya berada di dekat pasar dan kompleks pergudangan, harga makanan yang dijual juga relatif murah dan terjangkau untuk kantong pegawai. Hal ini jugalah yang menjadikan rumah makan tersebut menjadi salah satu tempat favorit para pegawai di daerah tersebut untuk membeli makanan.
"Kau justru akan merepotkan kami jika kau pingsan. Aku berani bertaruh, kau pasti tidak sarapan sejak pagi, kan?" Maya berdecak. "Wajahmu tampak pucat."
"Baiklah, aku akan istirahat sebentar." Reana mengangguk, berjalan ke arah belakang rumah makan, melepas apron yang digunakannya.
"Kau harus lebih memperhatikan kesehatan tubuhmu, Rea." Gilang, koki sekaligus pemilik rumah makan tersebut meletakkan dua piring berisi nasi goreng, menekan bel di atas meja, membiarkan Inka bergegas menaruh kedua piring tersebut di atas baki.
"Pesanan meja dua." Maya membaca catatan di kertas kecil yang tertempel di atas meja, sebelum kembali sibuk membuat minuman.
"Oke, ini pesanan dari meja 8." Inka meletakkan catatan pesanan di atas meja dan membawa baki berisi dua piring nasi goreng tersebut menuju ke meja dua.
"Makan siangmu." Gilang meletakkan piring di atas meja, tepat di samping Reana.
"Thanks, Kak." Reana tersenyum, menelan salivanya. Sejujurnya, Reana memang sangat kelaparan, perutnya hanya sempat terisi makanan dari kemarin malam. Reana hampir tidak pernah sarapan. Sehari hari, Reana hanya makan dua kali, siang dan malam. Itupun karena kemurahan hati Gilang, yang iba melihat kondisi Reana. Jika karyawan lain hanya mendapatkan jatah makan siang, maka Reana mendapatkan tambahan jatah makan malam. Awalnya Reana menolak karena merasa tidak enak dengan rekan kerjanya yang lain, namun lama kelamaan Reana akhirnya tidak pernah menolak dan justru merasa bersyukur karena semua rekan kerjanya sangat mengerti dengan kondisi yang dihadapinya.
"Makan dulu, baru lanjutkan pekerjaanmu. Ambil sendiri es tehmu." Gilang meraih catatan pesanan dari Maya dan mulai menyiapkan bahan.
Reana menghela nafas panjang, mengucap syukur sebelum mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Setidaknya walaupun hidupnya sangat keras, Reana masih bersyukur bertemu dengan orang orang baik yang peduli padanya.
********
"Ini gaji kalian untuk minggu ini." Gilang membagikan amplop putih pada karyawannya yang memang tidak banyak.
"Thanks, kak." Gumaman ucapan terima kasih dan raut wajah cerah terlihat saat mereka menerima upah jerih payah mereka selama seminggu.
"Rea." Gilang menatap Reana. "Seperti biasa?"
"Iya, kak." Reana mengangguk. "Kalau kubawa pulang semua, sama saja bohong."
"Nominal yang sama?" Gilang menghela nafas, membuka amplop, mengeluarkan sejumlah uang dari dalamnya.
"Seperti biasa saja, kak." Reana mengangguk.
"Oke." Gilang menyodorkan amplop pada Reana. "Totalnya kau ingat kan? Nanti besok pagi kita crosscheck bersama."
"Aku percaya pada kakak."
"Jangan mudah percaya pada orang, Rea. Uang juga termasuk hal yang mudah menimbulkan salah paham. Jadi aku lebih suka crosscheck, biar sama sama enak." Gilang menepuk pundak Reana.
"Kau harus cepat cepat keluar dari rumah itu." Maya berbisik pelan, wajahnya tampak prihatin.
"Tentu saja. Itu tujuanku menyimpan uang pada kak Gilang." Reana tersenyum.
"Setelah uangmu cukup, pergilah sejauh mungkin. Kau berhak untuk bahagia." Gilang tersenyum iba.
"Jika saat itu tiba, aku mungkin justru merasa takut."
"Loh kok bisa?" Inka menaikkan alisnya. "Harusnya kau merasa senang, Rea."
"Karena itu saatnya aku benar benar harus pergi jauh, termasuk berhenti bekerja di sini." Reana menjawab sendu.
"Tapi kami justru berharap kau bisa secepatnya pergi dari rumah itu. Kau tidak bisa seperti ini terus menerus, Rea." Gilang mendesah, "Pulanglah."
"Thanks semuanya. Aku pulang dulu. Sampai ketemu besok ya." Reana memasukkan amplop ke dalam tas selempangnya, merapatkan jaket tipisnya yang mulai memudar warnanya, satu satunya jaket yang ia miliki, yang melindunginya dari angin dingin di malam hari.
Reana berjalan pelan, menyusuri tepian jalan raya. Jarak rumah dan restoran tempat Reana bekerja sekitar tiga kilometer. Tapi demi menghemat pengeluaran, Reana memutuskan berjalan kaki, pergi dan pulang bekerja. Apalagi jam operasional restoran dimulai jam 10 pagi dan berakhir jam 9 malam. Belum terlalu malam jika ia berjalan kaki pulang.
*******
Jemari Reana memegang gagang pintu rumah, menarik nafas panjang sebelum menekan gagang pintu, membuat pintu terbuka.
"Sudah pulang ternyata." Joana yang sedang duduk di sofa ruang tamu menatap sinis ke arah Reana.
"Malam, bibi. Malam, paman." Reana bergumam lirih, melirik ke arah wajah Joana dan Ezra yang sangat tidak bersahabat.
"Mana?" Joana mengulurkan tangannya ke arah Reana.
"Apa, bi?" Reana mencicit lirih.
"Jangan pura pura bego! Gajimu!"
Reana menghela nafas pelan, merogoh tas selempangnya, meraih amplop berisi gajinya.
"Sini!" Dengan gerakan cepat, Joana merampas amplop dari tangan Reana, membuka dan memeriksa isinya
"Kenapa cuma segini, ha?" Joana mendelik, menatap tajam ke arah Reana.
"Itu udah semuanya, bi." Reana menunduk, meremas jemarinya.
"Sekian lama kamu kerja di sana dan gajimu gak pernah naik?" Ezra angkat suara.
"Seharusnya kau minta naik gaji." Joana mendesis kejam.
"Itu sudah yang terbaik, bi. Rumah makan milik kak Gilang juga bukan restoran besar."
"Makanya, aku menyuruhmu cari kerjaan lain!" Ezra membentak kasar.
"Tapi tidak mudah mencari pekerjaan untuk orang dengan latar belakang hanya lulusan SMA sepertiku, bi." Reana bergumam lirih. Dadanya terasa sesak. Di saat teman teman SMA nya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Reana harus berpuas diri dengan ijzah SMA nya.
"Alasan!" Joana membentak kasar, memukul kuat kepala Reana.
"Bibi...." Reana mengerang, mundur menjauh dari Joana, mengusap kepalanya yang terasa sakit.
"Itu untukmu!" Joana melempar selembar uang berwarna biru ke arah Reana. Uang itu melayang jatuh ke lantai, tepat di depan Reana. "Kau harusnya bersyukur karena aku tidak mengambil semua gajimu!"
Reana menghela nafas panjang, merunduk dan meraih uang di lantai, meremasnya, menahan sesak di dadanya.
"Kau masih beruntung masih diperbolehkan tinggal di sini! Bekerjalah lebih keras! Kita butuh banyak uang untuk membayar hutang!"
"Baik, bibi." Reana mengangguk. Lebih baik mengalah dibandingkan berdebat tanpa akhir, lagipula tubuhnya juga terasa sangat lelah. Ia butuh istirahat.
"Masuk sana!" Joana menggerakkan kepalanya, memberi kode agar Reana segera masuk.
Reana berjalan pelan, melewati Joana dan Ezra, menuju ke area belakang rumah. Matanya melirik ke arah meja makan. Tampak piring kotor bekas makan malam yang belum dibereskan memenuhi meja makan. Reana menghela nafas sedih, entah sudah berapa lama dirinya tidak pernah menikmati makanan di rumah. Dia bagaikan orang asing yang terabaikan.
"Sial! Bagaimana kalau rentenir itu datang menagih?" Samar suara Joana terdengar.
"Anak itu juga tidak bisa membantu apapun." Suara Ezra terdengar kesal.
"Kita butuh banyak uang. Jika seperti ini terus menerus, kita hanya mampu membayar bunga pinjaman, sedangkan pokoknya akan terus berbunga tanpa henti." Suara Joana terdengar sangat frustasi.
Reana mengedikkan bahunya, melangkah ke arah dapur, keluar melalui pintu belakang. Langkahnya berhenti di sebuah bangunan tua, tepat di dekat pintu belakang.
Jemari kurus Reana menekan handel pintu, mendorong pintu hingga terbuka. Reana meletakkan tasnya di atas kardus berukuran sedang, tempat ia menyimpan semua pakaiannya. Jemarinya meraih handuk dan pakaian yang berada di gantungan pakaian dan kembali keluar dari bangunan kecil tersebut, kembali ke rumah utama, menuju ke kamar mandi.
Samar telinganya masih mendengar perdebatan samar dari paman dan bibinya tentang hutang mereka pada rentenir. Reana kembali menghela nafas letih, mandi dengan cepat, secepat yang ia bisa, dan keluar dari kamar mandi tanpa harus kembali berjumpa dengan paman dan bibinya.
Senyum samar tampak di wajah Reana saat ia menyadari kedua orang tersebut masih berada di ruang tamu. Dengan cepat Reana masuk ke dalam bangunan tua, mengunci pintunya.
Pandangan Reana berkeliling, menatap ruangan kecil usang yang sebenarnya tidak layak huni. Bangunan yang ia tempati sebagai kamar tidurnya sebenarnya adalah gudang tua yang sudah tidak terpakai. Sejak SMP, paman dan bibinya mengusirnya dari rumah utama dan dengan terpaksa Reana tinggal di dalam gudang.
Walau gudang tersebut tidak dilengkapi perabotan, selain kasur usang beralas tikar tua yang diletakkan di lantai gudang, kardus tempat Reana menyimpan pakaian dan barang barang miliknya serta sebuah gantungan baju kecil, tapi Reana masih bersyukur, setidaknya ia tidak harus tidur di jalan.
Reana membaringkan tubuh kurusnya di atas kasur usangnya. Matanya menatap langit langit gudang beratapkan seng tanpa pelapis plafon.
Hidup memang berat Rea
Tapi kamu harus kuat
Bukankah orang hebat juga ditempa dengan aneka masalah?
Bertahanlah
Tidak akan lama lagi
Reana memiringkan tubuhnya, melengkungkan tubuhnya, meringkuk, menyamankan dirinya, sebelum masuk ke dalam alam mimpi dalam suasana kamar yang temaram.
Chapter 2
Kevin Maxwell tampak sibuk dengan tumpukan berkas di hadapannya. Raut wajahnya tampak serius, meneliti lembar demi lembar berkas di hadapannya, sebelum mulai membubuhkan tanda tangan di berkas tersebut.
"Maaf, pak." Nadia, sekretaris Kevin, membuka pintu ruangan.
"Ada apa?" Kevin bertanya tanpa mengangkat wajahnya.
"Ada yang ingin bertemu dengan bapak, tapi belum membuat janji sama sekali. Saya menyarankan agar pertemuan diadakan sore hari, setelah pertemuan dengan vendor selesai, tapi tamunya maksa, katanya urgent, pak."
"Katakan saja, ikuti jadwal yang kita berikan atau tidak sama sekali." Kevin menghela nafas panjang, meletakkan balpoinnya, menyandarkan dirinya di kursi kebesarannya.
"Baik, pak." Nadia mengangguk, menutup pintu ruangan Kevin.
Kevin kembali meraih balpoinnya, memberi beberapa coretan di atas kertas, meletakkannya di tumpukan berkas yang terpisah.
Brak
"Anda tidak bisa seperti ini, pak." Suara Nadia terdengar marah, berusaha menarik paksa seorang pria yang tiba tiba mendobrak masuk ke dalam ruangan Kevin.
"Astaga, Vin. Kau benar benar susah ditemui." Mike, pria bertubuh tegap yang memakai jaket kulit hitam dan celana cargo senada itu mengerang frustasi.
"Mike?" Kevin mengarahkan pandangannya pada Nadia. "Kenapa gak bilang kalau tamunya itu Mike?"
"Maaf, pak." Nadia mencicit lirih. "Saya juga lupa menanyakannya ke bagian resepsionis."
"Katakan ke lobi bawah, Mike mendapat akses khusus untuk menemuiku."
"Baik, pak."
"Dan aku tidak ingin diganggu, setidaknya sampai 30 menit ke depan." Suara Kevin terdengar tegas, tidak ingin dibantah.
"Baik, pak." Nadia mengangguk, mundur, keluar dan menutup rapat pintu ruangan Kevin.
"Kenapa tidak menghubungiku terlebih dahulu?" Kevin memberi kode agar Mike duduk.
"Aku sudah menghubungimu, panggilan pertama tidak dijawab, panggilan berikutnya tidak aktif." Mike mendengus.
"Really?" Kevin meraih ponselnya, sebelum terdengar helaan nafas panjang, "Sorry, lowbatt."
"Lupakanlah." Mike mengeluarkan amplop coklat dari balik jaket kulit hitam yang dikenakannya.
"Apa itu?" Kevin mengerutkan keningnya.
"Tugas yang kau minta aku kerjakan. I found her, at last."
"Really?" Kevin menegakkan duduknya, wajahnya tampak antusias.
"Salah satu alasanku terburu buru menemuimu." Mike mendorong amplop itu ke hadapan Kevin. "Karena aku tau, kau sangat menantikan hal ini."
Kevin meraih amplop dan mengeluarkan isinya dengan tergesa gesa. Kevin membaca berkas tersebut.
"Jadi...." Suara Kevin terdengar parau, Kevin mengangkat wajahnya, menatap Mike.
"Itu salah satu penyebab kita kehilangan dirinya. Setelah kematian kedua orang tuanya, dia langsung ikut keluarga, keluarga jauh dari pihak ayahnya, lalu pindah ke kota lain."
"Dia hanya lulus SMA?"
"Salah satu alasan kenapa kita sulit menemukannya, karena dia tidak melanjutkan pendidikannya, sedangkan kita sibuk meretas data pendidikan seluruh negara untuk menemukan datanya."
"Apa yang terjadi?" Kevin mendesah pelan.
"Kondisinya buruk. Dia tidak hidup dengan layak. Kau akan kaget jika melihat sendiri bagaimana keadaannya." Mike mengedikkan bahunya.
"Apakah orang tuanya tidak meninggalkan warisan sama sekali?"
"Kami belum menyelidikinya sampai sejauh itu. Yang penting kita bisa menemukannya setelah kau lost contact di JHS."
"Setidaknya...." Kevin mengangguk pelan, jemarinya meraih tumpukan foto dari dalam amplop "Sepertinya banyak yang sudah terjadi."
"Seperti yang aku bilang sebelumnya, kondisinya buruk." Mike mengangguk.
"Dia mengalami kekerasan fisik?" Kevin mengangkat wajahnya, rahangnya mengeras.
"Menurutku, iya."
"Brengsek!" Kevin melempar kasar foto foto tersebut di atas meja. "Cari informasi sebanyak banyaknya tentang dia."
"Sedang dikerjakan. Pastikan ponselmu selalu aktif, agar kami bisa mengirimkan update data terbaru."
"I will." Kevin mengangguk. "Tidak ada yang tahu mengenai hal ini, kan?"
"Seperti permintaanmu." Mike mengangguk tegas.
"Oke, hubungi aku jika kau mendapatkan informasi baru."
"Pasti." Mike bangkit, mengangguk sopan. "Akan kukirim detailnya via email."
Kevin menghela nafas panjang, menatap punggung Mike yang menghilang di balik pintu, sebelum jemarinya kembali meraih tumpukan foto di atas meja, merapikan semua berkas, memasukannya ke dalam amplop.
"I found you, at last...." Kevin memasukkan amplop tersebut ke dalam laci dan menguncinya.
*******
Reana memeriksa sekali lagi sambungan gas, memastikan semua dalam keadaan off. Senyum lebar terpampang di wajah tirus Reana. Ia meraih tas selempang dari dalam lockernya lalu menyampirkan di bahunya.
"Aku pulang dulu." Reana melambaikan tangannya.
"Rea." Gilang mengangkat tangannya, memberi kode agar Reana menunggunya.
"Untukmu." Gilang menyodorkan paper box.
"Untukku? Lagi?" Reana menatap Gilang, jemarinya menerima paper box tersebut
"Ada kelebihan nasi, jadi kubuatkan nasi goreng untukmu." Gilang mengedikkan bahu.
"Thanks, kak. Aku benar benar berhutang budi pada kakak." Reana bergumam pelan.
"Aku tahu, kau tidak pernah mendapat jatah makan di rumah. Kau sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri dan aku tidak rela jika keluargaku kelaparan sedangkan aku adalah pemilik rumah makan." Gilang tersenyum, "Kau harus jaga kesehatanmu." Gilang meraih kunci dari saku celananya.
"Thanks, kak." Reana mengangguk.
"Pulanglah. Hari ini rumah makan ramai sekali, kita sampai harus pulang lebih larut." Gilang melirik arloji di tangannya yang menunjukkan angka 21.45.
"Tidak apa apa, semakin ramai justru semakin baik. Aku duluan ya kak. Thanks." Reana mengangkat paper box di tangannya, tersenyum, dan berjalan meninggalkan Gilang.
"Poor girl." Gilang mendesah pelan menatap punggung Reana. Gilang berbalik dan mulai mengunci pintu utama rumah makan.
*******
Reana melangkah pelan menyusuri trotoar. Hati kecilnya enggan pulang ke rumah, tapi akal sehatnya memaksanya untuk tetap bersyukur dan pulang, setidaknya ia masih memiliki tempat untuk tidur dan berteduh, walaupun hanya di sebuah gudang tua.
Reana menghela nafas panjang, melangkah ke arah taman kota yang tepat berada di tepi jalan. Taman itu selalu dilewatinya, baik saat pergi maupun pulang bekerja.
Reana tersenyum lebar saat melihat bangku taman di bawah pohon terlihat kosong. Reana melangkah menuju bangku taman tersebut dan menghempaskan bokongnya. Reana membuka paper box pemberian Gilang. Senyumnya terpampang lebar saat mencium aroma wangi nasi goreng. Reana mulai makan dengan lahap.
Reana memang lebih senang memakan makanan yang diberikan oleh Gilang di rumah makan sebelum pulang atau di area taman kota. Pernah sekali, ia membawa pulang makanan yang diberikan oleh GIlang untuk dimakan di kamarnya dan telinganya nyaris meledak mendengar sindiran dari paman dan bibinya, seolah olah dia berfoya foya, menghabiskan gajinya dengan membeli makanan, padahal makanan itu adalah pemberian Gilang yang iba dengan kondisinya.
Reana tersenyum lebar, mengusap perutnya yang sudah terasa kenyang. Namun sejenak kemudian terdengar erangan samar dari mulut mungilnya.
Ihh, lupa ngisi tumbler.
Reana menatap sedih ke arah tumbler nya yang tampak kosong.
Gak apa apa, nanti minumnya di rumah saja.
Reana membereskan paper box nya, merapatkan jaket usangnya sebelum menyandarkan dirinya di bangku. Reana memejamkan matanya saat semilir angin malam menyentuh kulit wajahnya.
Dingin tapi rasanya sangat damai.
"Minum?"
Reana dengan segera membuka matanya saat mendengar suara bariton serak menyapa indra pendengarannya.
"A-apa?" Reana mendongak, menatap pria tinggi besar yang berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengenakan hoddie dan tudung hoodienya menutupi kepalanya, membuat wajahnya sulit terlihat jelas dalam suasana malam, apalagi di area tempat mereka berada, cahaya lampu taman terhalang oleh pohon besar.
"Kulihat kau baru selesai makan, tapi belum minum." Pria itu menyodorkan botol air mineral.
"Tidak perlu. Tidak usah. Tapi terima kasih untuk perhatiannya." Reana menggeleng pelan, menolak dengan sopan. "Aku akan membeli minuman di depan sana." Reana menunjuk ke arah taman yang berbatasan dengan jalan raya. Di sana tampak beberapa penjual makanan yang menggunakan gerobak sedang mangkal.
Pria itu meraih tangan Reana, meletakkan botol air mineral di tangan kurus Reana.
"Masih tersegel, jika kau berpikir mungkin aku menaruh sesuatu dalam minumanmu." Pria itu mengangkat bahunya. "Jangan takut, aku bukan orang jahat."
"Hm, baiklah, thanks." Reana menerima botol air mineral, matanya memeriksa botol, memastikan botol masih tersegel.
"May I sit?" Pria itu kembali bertanya.
"Tentu saja, ini property publik. Duduklah." Reana bergeser, memberi ruang kosong agar pria asing itu bisa duduk.
"Minumlah, rasanya aneh tidak minum setelah makan." Pria itu berpaling, menatap Reana.
Reana tertegun sejenak. Dalam keremangan cahaya lampu taman, Reana bisa memastikan, pria yang ada di sampingnya sangat tampan dan menarik. Garis rahangnya sangat tegas, hidungnya mancung, sorot matanya tajam berkharisma, dan walaupun bayangan tudung hoddie nya menggelapkan wajah pria itu, Reana berani bertaruh, pria itu benar benar tampan seperti tokoh tokoh novel yang sering menjadi bahan gosip Inka dan Maya.
"Kau dengar? Hei?" Pria itu menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Reana.
"Hm, iya, aku dengar." Reana berdehem, "Kau mengawasiku?" Reana membuka tutup botol dan meneguk air mineral perlahan.
"Sebenarnya tidak." Tawa ringan terdengar dari mulut pria itu. "Aku hanya kebetulan lewat, melihat penjual jajanan, lalu melihatmu makan di sini. Rasanya aneh."
"Aneh?" Reana mengerutkan keningnya.
"Tentu saja aneh, di saat orang memilih makan di rumah atau restoran, kau malah makan di area taman yang jelas jelas temaram, banyak nyamuknya, dan juga di area yang sepi."
"Ohh...."
"Hanya oh?" Pria itu tertawa ringan, "Jangan bilang kau kabur dari rumah?"
"Aku bukan tipe abege labil yang suka kabur dari rumah." Reana mendengus. Walaupun sedikit kesal dengan tuduhan dari pria berhoddie tersebut, tapi entah mengapa suara tawa pria itu terdengar enak di telinganya. Ada kelembutan dan keramahan yang terselip di dalamnya. Dan mungkin terdengar sedikit seksi?
"Lalu? Pilihan makan di sini rasanya juga cukup aneh. Kau bisa makan di area taman sana. Bukankah lebih terang dan ramai?" Pria itu menggerakan dagunya, menatap ke bagian taman yang dekat dengan jalan raya, yang tampak ramai dengan beberapa penjual dan pembeli makanan.
"Hanya pengen aja." Reana bangkit, merapikan jaket usangnya, meraih barang barang miliknya. "Thanks buat minumannya." Reana tersenyum, mengangkat botol air mineral.
"You're welcome." Pria itu juga bangkit, "Kau mau pulang?"
"Iya, ini sudah terlalu malam." Reana mengangguk kecil.
"Hati hati." Pria itu berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoddienya.
Reana melempar senyum tipis dan melangkah ringan meninggalkan taman kota. Sedangkan pria berhoddie itu tetap berdiri memandang punggung kecil Reana hingga menghilang di balik kegelapan malam.
Cantik...
Pria itu bergumam lirih sebelum melangkah meninggalkan taman
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
