Seusai Pesta

0
0
Deskripsi

Kamar-kamar di rumah itu mulai gelap satu demi satu. Dan semakin malam Lea merasa dirinya semakin asing. Kendati itu adalah rumah tempat ia tumbuh sepanjang pikirannya mampu mengingat.

            Gadis itu baru merayakan ulang tahun yang ke 17 pekan lalu. Ia tidak mengira perayaan tersebut menjadi sebuah pintu perubahan yang besar bagi hidupnya. Lea awalnya merasa dibohongi, namun hari ini perasaan itu berangsur pulih. Setidaknya, kemarahan tidak lagi menguasai dirinya beberapa hari terakhir.

Kamar-kamar di rumah itu mulai gelap satu demi satu. Dan semakin malam Lea merasa dirinya semakin asing. Kendati itu adalah rumah tempat ia tumbuh sepanjang pikirannya mampu mengingat.

            Gadis itu baru merayakan ulang tahun yang ke 17 pekan lalu. Ia tidak mengira perayaan tersebut menjadi sebuah pintu perubahan yang besar bagi hidupnya. Lea awalnya merasa dibohongi, namun hari ini perasaan itu berangsur pulih. Setidaknya, kemarahan tidak lagi menguasai dirinya beberapa hari terakhir.

            Suara langkah terdengar menggesek lantai, memecah keheningan yang sebelumnya terasa mendengung di telinga Lea. Ketukan kecil terdengar, suara panggilan yang tidak berubah seperti ketika mereka belum tahu segalanya.

            "Lea ... Lea ... "

            Lea menarik napas, lantas memaksakan diri turun dari tempat tidur. Meskipun ia tidak kunjung terpejam setelah 30 menit terbaring, tetap saja ia enggan untuk melakukan sesuatu dimalam selarut ini.

            "Blueberry cheesecake sisa makan malam masih ada di kulkas." Tukas Jemmy, tubuhnya berbalut kimono biru pudar, rambut ikalnya tampak berantakan. "Temenin, yuk."

            Lea mengerucutkan bibirnya. Ia ingat bagaimana ibunya merayu Lea dengan meminta koki membuat makanan-makanan kesukaannya selama satu pekan ini. Malam tadi Lea menyantap cheesecake hanya sedikit, padahal selai blueberry yang mengilap begitu menggoda. Ingatan tentang dirinya yang bukan siapa-siapa selalu menghentikan seluruh tubuhnya bergerak.

            "Besok aku akan mengantarmu." Mereka sudah berada di dapur, Lea duduk di kursi meja makan dan Jemmy mengeluarkan potongan cheesecake dari dalam kulkas.

            "Tidak, Jemmy. Ini enggak ada urusannya denganmu."

            Jemmy menatap gadis di hadapannya dalam-dalam. 

            "Lagi pula naik pesawat 20 jam, lalu kamu meninggalkan pertandinganmu hanya untuk mencari seseorang yang entah masih ada atau enggak, sama sekali tidak sepadan."

            "Untuk 17 tahun sudah rela menjadi adikku, menjadi korban eksperimenku, aku pikir itu sepadan."

            "Oh, Jemmy." Lea menangkup wajahnya, bahunya terguncang halus. Setelah lelah menangis dan ia kira tidak akan lagi menangis, ketika denting jam di ruang perpustakaan terdengar 12 kali, akhirnya Lea menangis lagi.           

            Jemmy merengkuh Lea, membenamkan tubuh kecil itu di dadanya. Untuk apa pun yang ada di dunia ini, entah harus memaki atau memuji, Lea bersyukur memiliki Jemmy dalam hidupnya. Sebagai kakak laki-laki yang selalu melindunginya, atau sebagai sahabat yang paling mengetahui siapa dirinya.

***

            Pintu kamar tidur utama sudah terbuka, cahaya matahari mengisi kamar luas tersebut. Semua jendela dan tirai telah dibuka. Udara sisa semalam berganti udara pagi yang lebih segar.

            Pada akhirnya Jemmy setuju untuk tidak menemani Lea ke Jakarta, karena kondisi ibunya sama sekali tidak menunjukan ke arah yang lebih baik.

            Selama tiga hari ini Lea memilih tidak menemui ibunya, kamar yang kerap ia kunjungi itu menjadi ruangan yang paling ia hindari. Namun pagi ini, ia memaksakan diri untuk masuk. Lantunan musik bernuansa riang sudah terdengar, bahkan aroma lilac samar-samar sudah tercium. Aroma yang biasa menempel di setiap benda yang di sentuh ibunya.

            Lea membutuhkan waktu lebih dari 10 menit untuk merenungi segalanya. Tentang dirinya dan keputusan orang tuanya ketika mengabarkan semua berita ini. 

            Saat itu seluruh tamu yang menghadiri pesta ulang tahun Lea sudah pulang. Ketika Tania dan Lizzy meminta izin untuk menginap, orang tua Lea dengan halus meminta kedua sahabatnya untuk pulang.

            "Kami punya ritual tidur berempat jika ada yang berulang tahun." Ucap ayahnya sopan, lantas kedua remaja itu paham untuk segera pulang.

            Lea memeluk pinggang ayahnya sambil melambai. Bukannya segera menuju ke kamar tidur utama tempat ibunya berada, ayahnya mengajak Lea ke ruang perpusatakaan. Di sana ibunya duduk di kursi roda, berbalut syal merah marun. Lantas memeluk Lea erat, dan mengecup dahi gadis itu begitu lama. Hingga Jemmy yang sedang memainkan ponselnya berdehem beberapa kali.

            Singkat cerita, ayahnya memberikan album foto yang tampak usang kepada Lea. Album yang tidak pernah Lea lihat sebelumnya. Foto dengan warna-warna yang pucat, bergambar wajah-wajah yang tegang. Satu-satunya wajah gembira di foto tersebut hanya wajah ibunya yang masih muda dan segar tengah memeluk seorang bayi.

            "Apakah itu aku?"

            Ibunya mengangguk, berbicara pelan. Sirosis kronis sudah merenggut energinya terlalu banyak. "Kami berencana menceritakan ini ketika kamu lulus kuliah atau ketika akan menikah. Tapi kegagalan pengobatanku tidak menjanjikan aku bisa bertahan sampai waktu itu tiba." 

            Lea ingat ayahnya mengambil alih pembicaraan ketika melihat ibunya kesulitan bicara. Keduanya memberikan sorot kasih sayang terbesar yang Lea lihat selama ini. Mengungkapkan dengan pilihan kalimat yang hati-kati.

            Namun bagi Lea ketika ayahnya mengatakan sepenggal kalimat, "orang-orang di foto itu adalah keluarga kandungmu." Seperti ada yang meledak di bilik jantung Lea.

            Mengapa, bagaimana, siapa, dan beribu pertanyaan lain berhamburan dari benak Lea. Hingga gadis itu limbung dan tak mampu mengungkapkan satu pun.

            "Ibu kandungmu baru berusia 16 tahun ketika kamu lahir, dengan suami yang hilang di laut. Dia seringkali lupa telah memiliki dirimu, dia begitu terpukul dengan hilangnya ayahmu."

            Lea tergugu memandang wanita muda berambut legam. Tatapannya kosong, raut wajahnya begitu hampa. Seakan segala hal yang berharga di dunia telah lenyap baginya. 

            "Maka, ketika keluarga kandungmu berniat memberikanmu, ibumu yang saat itu menjadi relawan NGO di desa mereka, tak berpikir dua kali untuk membawamu pulang ke rumah ini." Bicara ayahnya mulai tersendat, ia terus menggenggam tangan kiri Lea, kendati gadis itu berusaha melepaskan diri.  Sementara tangan kanan Lea tergenggam lemah tangan ibunya, sementara Jemmy menggenggam tangan ibunya yang lain.

            "Aku membawamu untuk melengkapi kebahagiaan kami. Untuk memberi kesempatan hidup yang lebih baik." desah ibunya. "Bagimu."

            Saat itu mata Lea penuh dengan kilatan kemarahan dan rasa kecewa, namun ia melihat kepasrahan di setiap lipatan raut wajah ibunya. Ia mengira kulitnya yang lebih coklat, rambutnya yang legam dikarenakan mirip dengan ibunya yang bertampang Asia. Ia tidak pernah mempertanyakan mengapa rambutnya tidak kemerahan seperti ayahnya, atau mengapa kulitnya tidak seterang Jemmy.

            Keesokan paginya Lea mengungkapkan keinginannya untuk menemui keluarga kandungnya. "Tidak perlu secepat ini. Untuk apa?" Tanya ayahnya terkejut. Niatnya untuk sarapan menguap.

            "Untuk pulang. Untuk menemui mereka, bertanya mengapa mereka tidak berupaya untuk merawatku. Untuk bertanya pada ibuku, mengapa ia tidak setangguh karang."

            "Apa kamu akan kembali?" Tanya Jemmy yang sudah duduk terlebih dahulu di meja makan. Pagi itu ibunya tidak bergabung karena terlalu lemah usai obrolan yang menguras energi semalam.

            Lea mengedikkan bahunya sekilas, yang membuat wajah ayahnya berubah pucat seketika. "Kamu belum siap, Lea. Kami belum cukup mengasuhmu menjadi wanita yang ... " Ayahnya tidak melanjutkan kalimatnya. Lea terlanjur bediri dan meninggalkan ruang makan. Bantingan pintu di lantai dua terdengar menggetarkan kaca-kaca.

            Dua hari lalu beberapa kolega ayah dan ibunya di Jakarta berjanji membantu. Mereka akan menemani Lea menembus pedesaan Lombok untuk menemukan keluarga kandungnya.

            Ayah dan ibunya cukup mengenal karakter Lea yang keras namun terkadang ceroboh. Maka, tak ada pilihan lain selain memberikan jalan dan mencarikan bantuan. Gadis itu harus tetap dibimbing, tidak boleh dibiarkan memutuskan segalanya seorang diri.

            Ayahnya menyiapkan seluruh dokumen, dan ini adalah pagi terakhir Lea berada di rumah ini untuk waktu yang entah kapan akan kembali. Setidaknya, emosinya masih terus menggaungkan hal itu di dadanya hingga pagi ini.

            Satu-satunya wanita yang Lea ingat sebagai ibunya adalah wanita yang sedang tertidur lemah. Bahunya yang dulu kuat untuk Lea gelayuti kini tampak tajam dan rapuh. Wajah yang menyimpan senyum, yang selalu memberikan cerita-cerita jenaka itu, kini begitu tirus.

            "Aku akan pergi, Mom." Ucap Lea sesaat setelah ia duduk di samping ibunya. 

            Wanita itu membuka mata. Memberikan senyum dengan susah payah. "Ikuti suara hatimu, sayang." Ucapnya mengangguk. Bulir air mata menggelinding ke samping matanya.

***

            Jemmy merapatkan mantel adik perempuannya, angin musin gugur seperti menembus dinding-dingding bandara.  Bandara Heathrow di siang hari seperti saat-saat lainnya, sibuk dan semua tampak tergesa-gesa. Sementara bagi Jemmy, ia ingin waktu melambat untuk sejenak.

            Lea memeluk Jemmy, mengucapkan kata "Bye," dengan lirih. Pemuda itu meletakkan kedua tangannya di bahu Lea, menggenggamnya lantas mengguncangnya pelan. Cukup bagi Lea untuk merasakan bahwa ia diberi kekuatan tambahan.

            Lea sudah melewati meja boarding pass, bayangan Jemmy sudah tak terlihat. Ia mulai berpikir tentang ibu kandungnya. Gadis yang melahirkan dirinya disaat berusia setahun lebih muda darinya. Apa yang Lea lakukan di saat 16 tahun?

            Lea mengguncang kepalanya. Pertanyaannya keliru. Apa yang akan ia lakukan jika dirinya berada di posisi ibu kandungnya? Apa yang ia harapkan dari bayi yang dilahirkannya? Sungguhkah wanita itu akan senang didatangi remaja labil yang tengah emosi seperti dirinya? Datang membawa kemarahan?

            Kemarahan?

            Lea telah memasuki separuh galbarata, menghentikan langkahnya ketika pertanyaan itu terus menajam di benaknya. Sebuah kemarahan selalu memiliki alasan dan tujuan. Alasannya tak pasti, dan tujuan kemarahannya pun sangat diada-adakan.

            Mengapa ia harus marah dan kecewa pada ibunya, ibu yang merawatnya selama ini? Padahal ia telah menyelamatnya dirinya dari kehidupan yang tidak menentu. 

            Ketika panggilan yang meminta para penumpang untuk segera naik ke dalam pesawat terdengar, Lea merasa berada di tempat yang salah. Ia yakin ibu kandungnya ingin melihat seorang wanita yang mandiri dan stabil. 

            Dan keyakinan itu menyeruak seperti cahaya di dalam rongga dada Lea. Lebih dari segalanya ia yakin ibunya, Ann Mei Klirk, yang terbaring sakit sangat mengharapkan dirinya berada di sampingnya.

            Lea melangkah mundur. Ia ingin melaksanakan tugasnya setahap demi setahap dengan teratur. Bagi wanita yang telah menyelamatkan dirinya dan bagi dia nun jauh di sana yang telah melahirkannya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lelaki Puisi
0
2
Gea bersenandung riang sambil berdiri di depan kaca. Berkali-kali memperbaiki penampilannya. Ia tak yakin harus menggerai atau mengikat rambut panjangnya.             Setelah berpamitan pada Mama, Gea langsung melesat ke jalan raya. Menaiki angkot menuju stasiun untuk terus melanjutkan perjalanan hingga ke Jakarta. Google maps telah ia amati sejak semalam, bertanya sana-sini di mana letak Salihara.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan