
Hari pertama Ghania menyandang sebagai Mrs. Gajendra. Kalau saja Ghania tidak berbicara empat mata dengan orang tuanya pasti pernikahan ini tidak ada.
PART 2
Halaman luas mansion mewah milik keluarga Dhananjaya disulap menjadi venue pernikahan cucu sulung mereka, Gajendra Raksa Dhananjaya dengan seorang gadis yang bernama Ghania Ayudia. Pernikahan keduanya menjadi awal mula kerja sama antara keluarga Gajendra dan Ghania. Para tamu undangan yang datang pun sebagian besar dari kolega keluarga mereka, dan hanya sekian persen kehadiran teman kedua mempelai.
Pesta pernikahan penerus ketiga dari Dhananjaya Corp menjadi berita panas seantero negeri. Berbagai media massa berlomba-lomba untuk meliput dan mengabadikan kemeriahan pesta itu dengan menerbitkan artikel disertai hotline yang mengandung kalimat persuasif untuk menarik perhatian masyarakat luas.
Beralih ke sepasang pengantin baru yang kini berdiri berdampingan di atas altar. Gajendra dan Ghania. Keduanya tampak serasi dengan balutan gaun dan tuxedo yang berwarna senada. Paras tampan dan cantik mereka juga menjadi poin utama.
“Buck up,” pinta Jendra, sapaan akrabnya, kepada Ghania yang sedari tadi enggan untuk menebar kebahagiaan melalui senyumnya. Ia meminta istri cantiknya untuk tersenyum.
“Lo masih bisa nyuruh gue senyum disaat gue tertekan begini?” balas Ghania berbisik dengan nada sinis.
“Enggak.”
“Yes you are!”
Jendra terkekeh pelan kemudian melingkarkan lengannya pada pinggang istri sahnya. Tindakannya itu langsung mendapat protesan keras dari Ghania yang melotot tajam. Dengan santai, Jendra berkata, “Lo yang kasih gue kesempatan buat nikahin lo. Sekarang gue suami lo. Get the drift?”
“Motherf**ker!”
Meskipun pernikahan mereka terjadi karena perjodohan, Jendra tidak pernah menganggap hal itu sebagai cobaan hidup, karena ia sudah mengenal Ghania sejak lama dan memiliki perasaan pada gadis itu. Beda halnya dengan Ghania yang sangat membenci Jendra. Alasan Ghania membenci Jendra cukup klasik. Ghania tidak suka Gajendra Raksa Dhananjaya yang sok kecakepan dan terang-terangan mengejar cintanya.
Rasya, cucu perempuan satu-satunya di keluarga Dhananjaya naik ke atas mistar, menemui sepupu dan sepupu iparnya. “Kak, Kakek udah kasih izin kalo lo mau istirahat,” ucapnya pada Ghania.
“Thanks, Sya.”
Rasya menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. Ketika Rasya dan Ghania hendak pergi, ada tamu yang mendatangi mereka. Membuat kedua perempuan itu mengurungkan niatnya.
“Wow couple of the year kita udah sah aja nih.” Sanjungan itu dari Abbas, salah satu sahabat Jendra yang juga bekerja di Dhananjaya Corp.
Jendra meraih tangan kanan Ghania, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia ingin memperlihatkan kepada teman-temannya kalau kini Ghania sudah resmi menjadi milik Gajendra Raksa Dhananjaya.
“Happy for you,” ucap Erlan. Laki-laki itu juga sahabat Jendra, tetapi tidak bekerja di bawah Dhananjaya Corp.
“Thanks.” Jendra tersenyum semringah. Kemudian Jendra menyuruh Ghania untuk beristirahat lebih dulu dan ia akan menyelesaikan pesta ini sendiri. “I catch up to you,” katanya pada Ghania yang hendak pergi bersama Rasya.
“Udah jangan dilihatin terus, bini lo nggak akan kabur, Jen,” kata Erlan sembari merangkul sahabatnya itu yang terus melihat Ghania yang berjalan menjauh.
Jendra terkekeh pelan dan mengajak dua sahabatnya itu untuk menikmati segelas minuman berwarna merah yang tersedia di atas meja bundar. Mereka mendentingkan gelas sebelum menenggaknya.
“Kerjaan lo buat dua minggu ke depan udah gue rekap. Lo mau berangkat honeymoon tanggal berapa?” Abbas bertanya. Yap, ia adalah sekretaris pribadi Jendra. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh Jendra ia juga turut andil. Kalau tidak ada Abbas, Jendra tidak bisa bekerja. Jadi, peran Abbas di hidup Jendra cukup penting.
“Gue belum bisa pastiin tanggal berapa. Ghania lagi sibuk-sibuknya sama kegiatan kuliah. Kalo Ghania udah ada waktu senggang gue kabari lagi,” kata Jendra lebih mementingkan urusan Ghania, daripada urusannya. Apa pun untuk Ghania, ia akan melakukan dengan sebaik-baiknya.
“Lagian lo kenapa kekeuh nikahin mahasiswi, Jen? Padahal masih banyak cewek yang antre jadi istri lo.” Erlan bertanya untuk yang kesekian kalinya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Sejak Jendra tergila-gila dengan Ghania satu tahun yang lalu, Erlan selalu bertanya seperti itu, karena Jendra selalu berkata akan menikahi Ghania.
“Cuma Ghania satu-satunya cewek yang benci sama gue. Dia beda, special, istimewa buat gue. Satu lagi yang terpenting, hubungan gue dan Ghania jadi berkat buat banyak orang. Keluarga gue dan keluarga Ghania sepakat kerja sama mendirikan anak perusahaan. Itu artinya semakin banyak orang yang akan direkrut,” ucap Jendra sembari menggoyangkan pelan gelasnya yang masih terisi.
Erlan mengangguk paham. Kalau biasanya ia hanya mendengar dua kalimat pertama saja, kini ia bisa mendengar alasan lain Jendra ingin menikah dengan Ghania. Bisnis, itu yang menjadi alasan lain selain cinta Jendra pada Ghania.
“Lo kayak nggak tau aja Jendra orangnya kaya gimana, Lan. Dia nomor satu kalo soal bisnis. Apalagi rasa kemanusiaan dia terbilang cukup tinggi.” Abbas menepuk bahu Jendra dua kali.
“I got it,” sahut Erlan kemudian menenggak minumannya hingga tandas.
Ketiga laki-laki itu melanjutkan obrolan mereka hingga pesta pernikahan ini berakhir. Setelah tamu undangan satu per satu pergi, Jendra mengajak kedua sahabatnya naik ke lantai dua. Keluarga Jendra mengosongkan satu lantai mansion untuk menginap para tamu VVIP.
“Gue mau nyamperin Ghania dulu.” Jendra menepuk bahu kedua sahabatnya dan mengedipkan salah satu matanya.
Abbas dan Erlan mengangguk dan mempersilakan sahabatnya itu menghabiskan waktu dengan istrinya. Mereka lantas pergi ke kamar masing-masing yang sudah disiapkan khusus oleh Jendra.
Sementara itu Jendra berdiri di depan pintu kamar keluarga Ghania. Istrinya sempat mengatakan jika ia akan beristirahat di kamar orang tuanya untuk menghapus make up dan berganti pakaian.
“Permisi,” ucap Jendra ketika masuk ke dalam kamar itu. Ia disambut oleh ayah dan bunda Ghania. Mereka ternyata sedang beristirahat di sofa dan menikmati camilan yang tersedia.
“Sini gabung, Nak.” Gina Ayudia, bunda Ghania dengan ramah mengajak menantunya untuk bergabung.
“Pestanya cukup melelahkan, bukan?” tanya ayah Ghania, Herman Wardhana, dengan kekehan kecil. “Kamu pasti sudah menduga akan semeriah ini. Ayah dan papamu bekerja keras untuk menyiapkan pesta ini. Bahagia rasanya semua berjalan dengan lancar.”
Jendra menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Jendra juga bahagia. Terimakasih sudah mengizikan Jendra untuk menikahi Ghania.”
“Ayah yang seharusnya berterima kasih padamu, Jendra. Selama ini Ayah bisa melihat ketulusanmu pada putri sematawayang Ayah.” Bunda Ghania mengangguk, membenarkan ucapan suaminya. Jendra laki-laki yang tepat untuk Ghania.
Obrolan itu terhenti kala Ghania keluar dari walk in closet dengan stelan piyama. Rupanya perempuan itu sudah bersiap untuk tidur. Riasan di wajahnya pun sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, tidak mengurangi kecantikannya sama sekali.
Jendra menepuk bagian di sisi kirinya. Menyuruh Ghania untuk duduk di sampingnya. Perempuan itu menurut tanpa melayangkan protes sedikitpun. Beda seperti biasanya yang selalu menentang apa pun yang diucapkan oleh Jendra.
“I am so knackered.” Ghania mengeluh pada Jendra untuk yang pertama kalinya. Jendra senang Ghania mau mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini.
Laki-laki itu tersenyum, tangannya bergerak untuk mengusap penuh sayang puncak kepala Ghania. Ia juga merasakan hal yang sama, tetapi pasti Ghania lebih lelah darinya. Jauh sebelum acara ini digelar, Ghania sudah disibukkan dengan kegiatan kampusnya. Tenaga perempuan itu pasti sudah terkuras habis.
“Lo mau tidur di sini atau kamar kita?” tanya Jendra berbisik agar orang tua Ghania yang sedang menonton televisi tidak terganggu.
“Emang boleh gue tidur di sini?” Ghania balik bertanya.
Tanpa banyak berpikir, Jendra menganggukkan kepalanya. Mengizinkan Ghania untuk tidur dengan orang tuanya. Jendra tidak akan melarang apa pun yang Ghania inginkan, selagi masih dalam batas wajar.
“Gue tidur sama lo aja. Kasihan orang tua gue pasti juga butuh istirahat,” ucap Ghania mendapat anggukan dari Jendra.
“Gue ambil slingbag gue dulu, abis itu kita ke kamar,” ucap Ghania pada Jendra. Perempuan itu bangkit dan melangkah ke walk in closet untuk mengambil barangnya.
Jendra bangkit dan berpamitan kepada mertuanya. Ia akan menunggu Ghania di luar. Memberi space Ghania untuk berbicara dengan orang tuanya sebelum pergi ke kamar bersamanya. Jendra paham apa yang dirasakan Ghania saat ini. Jendra begitu menyayangi Ghania dan keluarganya.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Ghania keluar dengan jejak air mata yang terlihat membekas di pipinya. Jendra tidak bertanya tentang hal itu, ia merangkul bahu Ghania dan mengajaknya pergi ke kamar.
Sesampainya di kamar Ghania langsung memberi batas tempat tidur mereka menggunakan guling. Ghania memberi jarak antara dirinya dan Jendra, meskipun sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Jendra tidak protes, ia justru tertawa melihat tingkah istrinya.
“Nice one,” ucap Jendra sarkas seraya melepaskan tuxedo-nya.
“Gue sengaja.” Ghania menjulurkan lidahnya kepada Jendra, lalu merebakan tubuhnya dan menarik bed cover sebatas dagu.
“Do you want to sleep early?” tanya Jendra melihat kedua mata Ghania yang sudah terlihat sayu sekali. Perempuan itu menganggukkan kepalanya.
“Okay, sleep tight, Sweetheart.” Jendra membiarkan Ghania untuk beristirhat. Ia juga ingin melepas penat dengan berendam malam ini sebelum tidur.
Sementara itu Ghania tidak benar-benar tertidur. Ia menahan rasa kantuknya dan memikirkan Jendra yang begitu baik padanya. Ghania sadar selama ini ia sudah kelewatan dengan Jendra. Ia tidak pernah memperlakukan Jendra dengan baik, tetapi laki-laki itu tetap memperlakukannya seperti ratu.
Kesabaran orang ada batasnya, begitu pula dengan Jendra. Beberapa kali Jendra juga marah pada Ghania, merasa kesal dan tidak dihargai. Namun, setelah merasa lebih tenang, laki-laki itu pasti kembali menemuinya.
Mungkin ini maksud dari perkataan ayahnya tadi. Ayahnya berkata, “Ayah tidak semata-mata menikahkan kamu kepada Jendra. Ayah mengenal betul keluarga Jendra. Ayah yakin Jendra bisa membahagiakan, menyayangi, dan mencintaimu dengan ketulusan yang dia punya.”
Ghania akan mencoba untuk membalas perasaan Jendra. Ia akan berusaha untuk sayang dan cinta pada suaminya itu. Tidak ada salahnya kan ia membuka hati untuk laki-laki yang pernah ia benci? Kini, Ghania sudah menghapus rasa benci itu. Ghania tida sepantasnya membenci laki-laki yang begitu tulus memiliki perasaan padanya.
Terdengar pintu terbuka, Ghania melihat Jendra keluar dari kamar mandi hanya dengan sehelai handuk yang menutupi tubuhnya dari pinggang ke bawah. Untuk kali pertama, Ghania melihat Jendra naked seperti ini. Ghania akui Jendra memiliki tubuh yang proporsional. Bahu dan punggungnya lebar, cocok untuk dijadikan sandaran.
Ghania bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Menunggu Jendra selesai memakai bajunya. Ia berjalan menuju meja rias dan mengambil hair dryer dan menancapkan pada stop kontak.
“Kenapa masih melek? Tadi katanya mau tidur.” Jendra mengacak rambutnya yang masih basah.
“Come closer!” pinta Ghania tanpa menjawab pertanyaan Jendra.
Laki-laki itu menurut dan duduk di bangku rias. Jendra membiarkan Ghania mengeringkan rambutnya. Ia senang Ghania melakukan hal ini padananya. Ia anggap ini sebagai bentuk tanda bakti seorang istri kepada suami.
“I think we need to talk,” ucap Ghania di sela-sela aktivitasnya.
Jendra mengangguk. Ia diam memandangi paras cantik perempuan yang duduk di depannya. Kini perempuan yang ia perjuangkan setahun ke belakang sudah resmi menjadi istrinya. Umur Jendra terpaut lebih tua tiga tahun dari Ghania. Kini Jendra sudah berusia 25 tahun, lulusan S1 jurusan Management, dan bekerja sebagai top manager di Dhananjaya Corp selama satu tahun ke belakang. Sedangkan Ghania masih berumur 22 tahun, masih menjadi mahasiswi S1 jurusan Ilmu Ekonomi semester 6.
“Kalau seandainya gue minta waktu menunda program kehamilan sampai wisuda, lo mau kabulin nggak?” tanya Ghania sembari mematikan hair dryer dan menantap Jendra dengan penuh keseriusan.
“Gue kabulin semua permintaan lo, kecuali permintaan buat kita pisah, Sayang.” Jendra membalas seraya meraih kedua tangan Ghania untuk ia genggam.
“Are you sure? Nggak pa-pa, kalo harus nunggu lama?” Sekali lagi, Ghania memastikan.Ia tidak mau Jendra memutuskan hal itu, karena mementingkan perasaannya. Ghania tidak mau Jendra terlalu memanjakannya.
“I really am.” Jendra menjawabnya dengan bersungguh-sungguh. “Tenang aja, gue nggak mau buru-buru. Gue masih mau berduaan sama lo. Anggep aja ini waktu kita buat pacaran.”
“Lo terpaksa ya nikah sama gue?” Tiba-tiba Jendra menanyakan hal yang di luar topic pembicaraan mereka. Wajah Ghania yang tampak lesu dan banyak pikiran membuat Jendra merasa Ghania terpaksa menerima hubungan ini.
“Bukan terpaksa, tapi lebih ke belum bisa terima apa yang terjadi sekarang ini. Jujur gue belum ada rasa apa-apa sama lo, Jen.”
Jendra tersenyum miris, dugaannya benar. Ghania menjalani ikatan ini tanpa sedikitpun perasaan. Jendra tidak akan memaksa Ghania membalas perasaannya. Namun, ia berharap Ghania memiliki keinginan untuk mencintainya.
“It’s totally fine,” kata Jendra berusaha untuk baik-baik saja. “Gue nggak minta lo buat cinta sama gue kok, Ghania.”
Perempuan itu memalingkan wajahnya, memutus kontak mata dengan Jendra. Tatapan tulus dan sendu laki-laki itu membuatnya semakin merasa bersalah, karena belum bisa membalas perasaannya.
“Udah selesai belum ngobrolnya? Lo tidur gih, udah ngantuk kan?” Jendra melepaskan genggamannya pada Ghania.
Perempuan itu mulai merebahkan tubuhnya dan bergelung di bawah selimut. Ia masih memperhatikan Jendra yang mengambil bantal dan membawanya ke sofa di depan tempat tidur.
“Tidur di sini aja, Jen. Jangan bikin gue makin ngerasa bersalah sama lo,” ucap Ghania.
“Take it easy.” Jendra membalasnya.
“Gajendra Raksa Dhananjaya,” panggil Ghania sengaja menyebutkan nama lengkap laki-laki itu agar menuruti kemauannya.
Jendra menghela napas berat, ia paling tidak bisa kalau Ghania sudah memanggilnya seperti itu. Lantas, ia mendekat dan merebahkan tubuhnya di samping Ghania dengana guling sebagai pembatasnya.
“Jen,” panggil Ghania lagi.
“Apa?”
“Gue minta maaf ya kalau selama ini sikap gue ke lo kurang ajar.” Ghania sudah memikirkan perkataan ayahnya. Ia akan berusaha untuk lebih baik lagi kepada Jendra.
Laki-laki itu langsung menoleh, matanya bertemu dengan mata Ghania. Mereka bertatapan kembali.
“Gue bakal berusaha buat bales perasaan lo.” Sangat di luar dugaan, Ghania berkata seperti itu secara tiba-tiba. Bohong kalau Jendra tidak bahagia. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, menunggu Ghania menerima ulurannya.
“Let it flow.” Jendra berkata. “Makasih udah mau berusaha.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
